Minggu, 28 Februari 2010

Keragaman Persepsi terhadap Arsitektur

Posted by FERIYANTO

Arsitektur merupakan kata yang familiar bagi masyarakat. Namun apakah masyarakat paham apa yang disebut arsitektur? Dan sejauh mana pemahaman mereka mengenai arsitektur? Pertanyaan-pertanyaan tesebut memang bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Tulisan ini pun tidak akan benar-benar menjawab semua hal tersebut. Tulisan ini akan lebih banyak membahas mengenai perbedaan pandangan yang ada di masyarakat mengenai pemahaman mereka tentang arsitektur.

Sebelum sampai ke pembahasan mengenai arsitektur itu sendiri, saya akan sedikit membahas mengenai asal mula arsitektur. Dari sumber yang saya baca, asal mula arsitektur dapat dipahami dengan baik bila orang memilih pandangan yang lebih luas dan meninjau faktor-faktor sosial budaya, dalam arti seluas-luasnya, lebih penting dari iklim, teknologi, bahan-bahan dan ekonomi (Catanese & Snyder, 1991). Rapoport (dalam Catanese & Snyder, 1991) juga mengungkapkan bahwa arsitektur bermula sebagai tempat bernaung. Oleh karena itu banyak anggapan di masyarakat bahwa arsitektur adalah sesuatu yang berhubungan dengan bangunan sebagai tempat tinggal.

Dalam buku itu pun Rapoport mengungkapkan bahwa arsitektur telah ada sebelum arsitek pertama, yang biasa dianggap sebagai perancang piramida berbentuk tangga di Mesir. Dari penjelasannya dapat diambil kesimpulan bahwa pada awalnya arsitektur memang lebih terkait kepada bangunan, terutama bangunan untuk tempat tinggal yang masih banyak dipengaruhi oleh adat, sehingga pembuatannya banyak memasukkan unsur adat. Kemudian dengan semakin majunya zaman, maka hasil karya arsitektur semakin bermacam-macam bentuknya. Dan cakupannya pun semakin lebih luas, tidak hanya pada bangunan saja. Pendefinisian mengenai arsitektur pun akhirnya semakin kompleks.

Dalam mendefinisikan arsitektur, memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Sudah banyak buku yang membahas mengenai topik tersebut dan sudah banyak pula perdebatan yang dilakukan untuk membahasnya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menjawab dengan pasti what is architecture? Hal tersebut disebabkan karena begitu kompleksnya arsitektur.

Berikut ini beberapa definisi mengenai architecture dari beberapa acuan:

Berdasarkan kamus, kata arsitektur (architecture), berarti seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya, yaitu Archi = kepala, dan techton = tukang, maka architecture adalah karya kepala tukang. Arsitektur dapat pula diartikan sebagai suatu pengungkapan hasrat ke dalam suatu media yang mengandung keindahan.

Menurut O’Gorman (1997) dalam ABC of Architecture, arsitektur lebih dari sekedar suatu pelindung. Arsitektur bisa jadi merupakan suatu wujud seni, namun memiliki perbedaan, yaitu arsitektur menggunakan seni sebagai sesuatu yang penting untuk digunakan sebagai interior.

Menurut Le Corbusier: ”architecture is the masterly, correct and magnificient play of masses seen in light. Architecture with a capital A was an emotional and aesthetic experience”.
Beberapa definisi arsitektur di atas menunjukkan bahwa ada banyak pendapat yang berbeda mengenai pengertian arsitektur. Pendefinisian itu bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang arsitektur saja. Masyarakat awam yang mengalami hasil dari arsitektur itu pun memiliki pemahaman sendiri mengenai arsitektur.

Pada masyarakat awam, mereka lebih memahami arsitektur sebagai sesuatu yang berhubungan dengan merancang bangunan. Oleh karena itu seringkali mereka mengaitkan arsitektur dengan bangunan dan tempat tinggal. Sebenarnya pemahaman mereka tidak salah, hanya saja masih belum tepat, karena arsitektur mencakup banyak hal tidak hanya merancang bangunan. Dan arsitektur pun dapat dimanifestasikan dalam berbagai hal, seperti arsitektur sebagai sebuah simbol, arsitektur sebagai sebuah ruang, dan sebagainya. Akan sulit memang bagi mereka untuk dapat memahami arsitektur dengan benar-benar tepat, karena seperti yang saya ungkapkan pada paragraf sebelumnya, arsitektur merupakan sesuatu yang kompleks. Bahkan bagi orang-orang yang berkecimpung di bidang arsitektur pun belum tentu dapat mendefinisikan arsitektur dengan tepat, meskipun mungkin mereka sudah lama berkecimpung di bidang tersebut.

Bagi orang yang berkecimpung di bidang arsitektur umumnya pemahaman mereka mengenai arsitektur berbeda dengan masyarakat awam. Mereka pun umumnya lebih dapat memandang arsitektur secara luas dan lebih terbuka. Banyak dari mereka yang berpendapat bahwa arsitektur merupakan bagian dari kehidupan, yang mencakup segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan dekat dengan manusia. Konsep tersebut lebih dikenal sebagai konsep Architectural Everyday. Dan karena arsitektur berhubungan dengan yang ada di sekitar dan dekat dengan kehidupan manusia, maka arsitektur berhubungan pula dengan ruang dan perasaan. Oleh karena itu arsitektur tidak selalu hanya bangunan, apa pun bisa saja merupakan suatu bentuk arsitektur, contohnya musik. Mungkin bagi masyarakat awam akan heran bila mendengar hal tersebut. Mereka mungkin akan bertanya, ”mengapa musik bisa menjadi bagian dari arsitektur?”

Untuk menjawab hal tersebut, Rasmussen (1964) dalam Experiencing Architecture mengemukakan bahwa arsitektur bukan hanya yang dapat dilihat dan diraba saja, yang didengar dan dirasa pun merupakan bagian dari arsitektur. Melalui pendengaran kita dapat menggambarkan sesuatu yang berhubungan dengan bentuk dan material. Pendengaran pun dapat mempengaruhi perasaan seseorang. Pada musik, di dalamnya ada irama yang dapat membawa suasana hati seseorang. Dan dengan mendengarkan irama tersebut muncul interpretasi yang mungkin akan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Interpretasi itu secara tidak langsung akan mengarah ke suatu kualitas ruang. Meskipun hasil interpretasi tersebut bersifat maya, namun jika sudah dapat menginterpretasikan sebuah kualitas ruang , berarti sebenarnya secara tidak sadar kita sudah membentuk sebuah ruang di alam bawah sadar kita. Hal itu sama seperti arsitektur pada bangunan yang real, yang di dalamnya ada ruang dan memiliki kualitas ruang. Maka dari itu musik juga merupakan bagian dari arsitektur.

Selain musik, masih banyak hal lain di sekitar kita yang merupakan bagian dari arsitektur, baik yang sifatnya maya maupun nyata. Namun Paul Shepheard (1999), mengungkapkan bahwa architecture is not everything, Ia mengatakan, “So when I say architecture is not everything. I mean that there are other things in life and simultaneously. I mean that there are things that are not architecture, but which fit round it so closely that they help to show it is“.

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa di sekitar kita ada yang merupakan arsitektur ada pula yang bukan. Dan keduanya berada bersamaan, sehingga seringkali kita sulit untuk membedakan antara keduanya. Contohnya rambu lalu lintas berupa penunjuk jalan. Apakah itu bentuk arsitektur atau bukan? Tentu akan ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut, karena memang tidak ada ketentuan khusus dan pasti antara keduanya.

Pada masyarakat awam, umumnya mereka menganggap rambu tersebut bukan bentuk arsitektur. Namun tidak menutup kemungkinan orang-orang yang berkecimpung di bidang arsitektur pun ada yang berpendapat demikian. Mereka umumya menganggap bahwa rambu yang merupakan sebuah tanda hanyalah berarti sebagai sebuah tanda biasa. Namun, bagi beberapa orang lain mereka tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut mereka tanda merupakan bagian dari arsitektur, maka dari itu disebut sebagai bentuk arsitektur. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Derrida pembahasannya mengenai deconstruction, yang lebih menyangkut pembahasan mengenai text. Menurutnya, text (tanda) bukan merupakan instansi independen, setiap tanda menunjuk pada tanda-tanda lain. Dan keberadaan tanda berhubungan dengan ada dan hadirnya sesuatu. Dalam konteks ini, tanda tersebut adalah rambu yang menunjuk kepada keberadaaan yang lain, yang akhirnya akan membentuk suatu jaringan. Dan hal tersebut merupakan bagian dari arsitektur, karena dalam arsitektur pun tidak ada sesuatu yang bisa berdiri sendiri, semuanya saling berhubungan, bahkan dapat membentuk sebuah jaringan.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, arsitektur berhubungan dengan sesuatu yang ada di sekitar manusia dan erat kaitannya dengan kehidupan manusia, baik maya maupun nyata. Dan terkadang, kita sulit untuk dapat membedakannya. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur tidak bisa dilepaskan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Wigglesworth dan Till (1998), “issue of Architectural Design attempts to capture the fragility of that distorted reflection, where image and reality blur”. Lebih lanjut Wigglesworth dan Till juga mengungkapkan : “we explicitly acknowledge the everyday as a productive context for the making, occupation, and criticism of architecture”.

Sesuatu yang merupakan suatu bentuk arsitektur pun bisa jadi merupakan sesuatu yang tidak kita sadari, tapi dekat dengan kehidupan kita, contohnya mengenai ugly and beauty. Banyak diantara kita yang menganggap kedua hal tersebut sebagai suatu keadaan yang memang ada dalam kehidupan, tapi bukan sebagai bentuk arsitektur. Ternyata pandangan mereka salah, kedua hal tersebut merupakan bagian dari arsitektur, tepatnya lebih kepada sense. Meskipun kedua hal tersebut sifatnya relatif, namun dalam arsitektur rasa akan sesuatu sangat penting artinya. Terutama bila hal tersebut berhubungan dengan sesuatu yang akan dihasilkan oleh seorang arsitek.

Dari semua pembahasan di atas menunjukkan bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang kompleks, mulai dari asal mulanya sampai dengan definisinya. Dan dalam arsitektur subjektifitas memang menjadi sesuatu yang sering terjadi. Bahkan dalam pendefinisian mengenai arsitektur itu sendiri pun pandangan subjektif dari tiap orang menjadi penting, maka dari itu sulit untuk dapat benar-benar mendefinsikan arsitektur. Dan seperti yang sudah dijelaskan juga, arsitektur memang memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan kehidupan manusia. Dan hal tersebut jarang disadari oleh kita, sehingga wajar jika banyak yang beranggapan bahwa arsitektur hanya sekedar merancang bangunan, sementara di luar itu bukan merupakan bentuk arsitektur. Oleh karena itu kita perlu berpandangan terbuka jika ingin memahami arsitektur dengan baik.
Daftar Pustaka

Catanese, A. J. & Snyder, J. C. (1991). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Penerbit Erlangga

O’Gorman, J. F. (1997). ABC of Architecture. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture. Cambridge: The MIT Press.

Shepheard, P. (1999). What is Architecture? Cambridge: The MIT Press.

Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.

sumber: http://arsitektur.net

Arsitektur dalam Kehidupan Sehari-hari: Modernitas vs Tradisi

Posted by FERIYANTO

Arsitektur memiliki kaitan yang erat dengan tradisi masyarakat. Tetapi dalam era modern dan globalisasi, arsitektur telah mengalami perubahan dan menemukan gaya barunya akibat adanya teknologi, birokrasi, kekuatan ekonomi dan politik. Arsitektur modern kemudian identik dengan pengembang, bisnis, monopoli, dan politisi. Pertanyaan yang kerap kali muncul saat ini adalah apakah keseharian kita yang yang timbul akibat modernitas sekarang merupakan jenis ”kehidupan” yang memang kita butuhkan, atau kah modernitas tersebut justru benar-benar merupakan oposisi dari keseharian kita yang telah lama terkukung oleh tradisi? Dan kemudian apakah tradisi tersebut memang harus terus kita pertahankan?

Menurut Halley (1997), terdapat dua versi kehidupan sehari-hari masyarakat modern saat ini, yang pertama adalah pengalaman estetik yang berkaitan dengan nilai-nilai demokratis. Ciri-cirinya seperti pada arsitektur Amerika, penggunaan ruang publik seperti taman dan jalan sudah dikontrol oleh pihak yang berkuasa. Masyarakat tidak menggunakan ruang publik lagi untuk berkumpul dengan orang-orang yang tidak saling kenal, karena simbolisasi dari ruang publik tersebut sudah diperkenalkan ke dalam kehidupan privat, contohnya pool hall dan taman. Pada versi yang pertama itu masyarakat lebih mandiri dan kecanggihan teknologi tidak dipergunakan untuk kemewahan. Sedangkan versi yang kedua adalah pentingnya menunjukkan identitas kelas yang berkuasa atau powerful class, yaitu generasi yang memproduksi entertainment dan barang-barang mewah. Contohnya adalah pembangunan di Amerika yang lebih ditekankan pada blok-blok perkantoran dan perumahan mewah di Fifth Avenue dan Newport (Halley, 1997). Kedua area tersebut merupakan sebagian dari kawasan paling elit di Amerika Serikat.

Akan tetapi di lain pihak, arsitektur modern tidak mampu mengangkat kebutuhan manusia sebagai penggunanya, serta nilai-nilai lokal atau tradisi yang ada pada masyarakat karena menurut Stern (2003), arsitektur modern lebih mementingkan form atau bentuk serta nilai-nilai global. Dalam hal ini, subjektivitas dalam arsitektur sangatlah kurang, akibat adanya rasionalisasi. Seharusnya arsitektur lebih mementingkan bagaimana tubuh akan bereaksi, bagaimana arsitektur dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi tubuh penggunanya, dimana penglihatan, sentuhan, pendengaran, dan aroma menjadi faktor-faktor yang sangat penting, dan bagaimana arsitektur dapat menjadi tempat yang dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dasar penggunanya.

Tradisi sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Arsitektur dalam kehidupan sehari-hari atau architecture of the everyday itu sendiri dapat diartikan sebagai arsitektur yang familiar atau umum, tidak harus hebat, tetapi dapat memberikan arti yang sesungguhnya bagi pemiliknya. Namun apabila kita melihat kehidupan masyarakat modern yang dikuasai oleh kekuatan ekonomi atau kapitalisme, definisi arsitektur kehidupan sehari-hari tersebut akan sulit untuk diwujudkan karena sifat modernitas dan tradisi saling bertentangan satu sama lain.

Menurut Le Corbusier (dalam Darling, 2000), era modern atau era abad ke-20 merupakan era mesin atau machine age dimana teknologi, industri, dan produksi massal sangat mendominasi. Era ini merupakan era internasionalisme, komunikasi massa, demokrasi massa, dan sains.

Pola hidup atau tradisi masyarakat modern terkekang oleh tuntutan ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari rutinitas sehari-hari yang sangat repetitif, dimana mereka harus bekerja setiap hari dan selalu menyibukkan diri. Dengan pola hidup yang demikian akan tercipta masyarakat yang individualis. Dari sifat individualistis tersebut maka kegiatan masyarakat akan terpisah-pisah dan selalu terasing dengan adanya tembok atau dinding bangunan sebagai pembatas mereka, sehingga semua kegiatan cenderung bersifat indoor. Seperti yang dinyatakan oleh Lefebvre (dalam McLeod, 1997: 21): “He believed that revolutionary change was a slower and more comprehensive process, less theatrical and individualistic, necessiting a more historically grounded engagement with everyday life”. Dan seperti yang dinyatakan oleh Lofland (1985: 70): “While retail buying and selling remains very much a public activity, it has largely been moved indoors, off the streets and walk ways. Certainly much if this movement is due to technological innovations, economic pressures, and general realization of business, …”.

Kebudayaan modern yang merupakan mass-culture atau pop-culture diklaim sebagai sebuah kebudayaan yang merupakan transformasi demokratis dikritik oleh Adorno (2004) yang mengemukakan bahwa artistic modernism atau modernisme artistik dapat dimengerti oleh beberapa orang saja (esoteric) dibandingkan dengan budaya global yang tersedia untuk semua orang.

Terdapat beberapa alasan instrumental dari terbentuknya industri budaya atau culture industry, yaitu terjadinya transformasi sosial yang menyebabkan timbulnya kebutuhan akan kebebasan utuh atau integral freedom. Kebutuhan tersebut akan menimbilkan transformasi yang radikal dalam masyarakat. Berdasarkan sejarah Marxisme, contoh progres dari integral freedom tersebut adalah kapitalisme. Kapitalisme lah yang menyebabkan terbentuknya sejarah global atau sejarah universal. Faktor lainnya adalah rasionalitas Barat yang menyebabkan terbentuknya pemikiran kapitalisme liberal. Selain itu juga adanya organisasi ekonomi dari kapitalisme modern yang membawahi produksi pasar dimana barang-barang diproduksi bukan untuk kebutuhan manusia tetapi untuk kepentingan profit dan memperoleh modal yang lebih.

Rasionalitas mengabaikan partikularitas yang memperhatikan perasaan manusia. Seni yang menjadi budaya massa pada modernisme belum tentu membawa kebahagiaan seutuhnya, melainkan hanya cara mudah untuk mencapai kebahagiaan. Semua itu berawal dari adanya kekuasaan mesin dalam memproduksi barang-barang kebutuhan manusia. Mesin dinilai sebagai kenikmatan bagi manusia, karena dapat bekerja dengan cepat dan mudah. Dengan demikian, industri budaya hanya merupakan unversalitas atau seni yang bersifat homogen dan merupakan kesenangan yang mudah dan cepat, setara dengan kesenangan dan kemudahan tenaga kerja yang memproduksinya.

Arsitektur modern merupakan hasil dari pemikiran modern atau yang disebut dengan modernism. Penjelasan yang ada tidak terpaku pada langgam atau gaya dari arsitektur modern yang lebih membahas mengenai ciri-ciri fisik yang spesifik dari arsitektur modern. Yang lebih ditekankan di sini adalah pola pikir modernisme yang mempengaruhi lahirnya dan berkembangnya arsitektur modern.

Pada masa abad ke-20, segala aspek dalam kehidupan sedang berubah dan berkembang. Akan tetapi, arsitektur malah mengalami masa stagnan dan terpaku pada arsitektur abad ke-19 dan yang terjadi hanyalah perdebatan akan arsitektur historis mana yang akan dipertahankan. Seperti yang dinyatakan oleh Le Corbusier, “in an unhappy state of retrogression” (dalam Darling, 2000).

Sejak saat itu Le Corbusier memiliki misi untuk membuat suatu bentuk yang modern dan revolusioner di abad ke-20. Modernisme pada arsitektur atau yang dapat disebut dengan New Architecture menurut Le Corbusier, merupakan suatu produk dan metode teknik perekayasaan (engineering) sebagai inspirasi dari bentuk arsitektur modern. Itulah yang ia sebut sebagai “Engineer’s Aesthetic” dimana terdapat simplisitas dan standardisasi bentuk. Demikian juga dengan metode logis pada desain yang lebih mementingkan fungsi, bukan hanya sekedar gaya atau style. Akan tetapi, arsitektur modern juga tetap memperhatikan nilai-nilai esensial dari arsitektur, yaitu faktor-faktor yang menjadi indikator arsitektur yang baik, yaitu “volume, surface, and plan”.

Modernisme mengabaikan komplikasi yang dapat ditemukan di masyarakat primitif. Simplisitas yang dijunjung tinggi oleh modernisme kini dapat ditemukan mulai dari penggolongan kawasan pada kota berdasarkan kelas sosial dan aktivitasnya, sampai pada lingkup yang lebih sempit, yaitu pada konsep desain sebuah bangunan. Seperti yang dinyatakan oleh Lofland (1985: 74): “By the eighteenth century, neighborhood segregation by class was already apparent, … residential class homogenization intensified”. Contohnya adalah adanya pemukiman kelas menengah ke atas dan pemukiman kelas bawah yang sering ditemukan di kota-kota modern. Kemudian adanya wilayah yang tergolongkan berdasarkan etnis tertentu di kota-kota besar seperti China town dan Indian town. Segregasi yang ada tidak hanya dalam hal perumahan tetapi juga pemisahan areal permukiman dengan areal pusat perkantoran, pemisahan yang jelas antara jalan dengan pusat perbelanjaan.

Modernisme juga erat kaitannya dengan kapitalisme, globalisasi, dan totaliterisme, seperti yang dinyatakan oleh Deamer (1997: 198): “ ... the reaction against modernization was not merely its link to capitalism and globalization, but in the aftermath of World War II, totalitarianism as well”. Kapitalisme sangat terlihat dari adanya kekuatan pemerintah untuk membuat suatu perencanaan urban, seperti yang dinyatakan oleh Lefebvre (dalam McLeod, 1997: 24): “The city was the locus of the most intense contradictions of capitalism : … of which government urban planning was one of its clearest manifestations; …”.

Berbeda dengan kondisi pada jaman sebelum era modernisme dimana pola hidup masyarakatnya sangat beragam, mulai dari perumahan, cara berpakaian, cara makan dan minum, serta cara hidupnya. Keragaman tersebut terjadi akibat pola hidup yang tidak berada di bawah suatu sistem atau birokrasi seperti yang terjadi pada era modernisme sekarang ini. Kapitalisme dan birokrasi itu pula yang membuat pemerintah menyeragamkan pola kota, atau dalam lingkup yang lebih sempit lagi yaitu pada pola perumahan atau bahkan konstruksi pembangunannya. Dengan demikian arsitektur pada era modern dapat terlihat seperti produksi massal atau mass marketed product.

Akan tetapi dalam era modern seperti sekarang ini ternyata timbul kontradiksi antara tradisi dan modernitas. Dalam proses transmisi tradisi dari generasi ke generasi selalu terjadi perubahan-perubahan, sehingga tradisi tidak mungkin dapat dilestarikan sepenuhnya. Proses transmisi tersebut menyebabkan adanya perubahan interpretasi dari masyarakat terhadap tradisi yang akhirnya disebut dengan modernitas. Menurut Shils (1981), tidak terdapat perubahan yang signifikan di dalam proses transmisi tersebut. Terdapat kontinuitas atau hubungan yang dihasilkan dari suatu rantai generasi, sehingga kualitasnya akan tetap sama.

Namun jika dilihat dari kekontrasan yang radikal antara tradisi dan modernitas, maka modernitas yang tercipta tersebut merupakan sebuah tradisi baru. Dapat dikatakan demikian karena perubahan yang terjadi sangat signifikan, tidak sesuai dengan konsep transmisi sebuah tradisi seperti yang dikemukakan oleh Shils (1981). Dalam hal ini berarti modernitas memiliki kecenderungan untuk menolak tradisi. Penolakan tersebut terjadi akibat adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu pola yang telah diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya. Selain itu, modernitas juga bisa terjadi akibat terlalu banyaknya pengaruh dari tradisi global yang masuk melalui teknologi informasi yang berlebihan, sehingga kebudayaan masyarakat bukan merupakan kebudayaan lokal melainkan sudah menjadi sebuah kebudayaan global.

Kekontrasan antara tradisi dan modernitas dapat digambarkan melalui sederetan sifat-sifat yang saling bertentangan sebagai berikut : permanen vs perubahan, rutinitas vs inovasi, lokal vs internasional, anonim vs teridentifikasi, prasangka vs kebebasan, mitos vs alasan, dan natural vs artifisial (Queysanne,1989).

Sedangkan arsitektur dalam kehidupan sehari-hari (Architecture of the Everyday) merupakan oposisi dari sebuah kota monumental yang mengutamakan fasade dan vista atau kah merupakan oposisi dari kota global yang terdiri dari daerah-daerah finansial dan daerah-daerah pemukiman mewah, dengan elemen-elemen kota yang dihubungkan oleh superhighways dan desain yang bersifat homogen, tanpa mempertimbangkan aspek geografisnya. Kota global seringkali dikaitkan dengan kota monumental yang mengutamakan harga diri penghuninya dan penampakan visualnya, bergantung pada perencanaan dan desain yang berdasar pada kekuasaan, teknologi, serta terutama pada kekuatan ekonomi dengan meningkatnya pasar yang tidak beraturan, sehingga terbentuklah sebuah kota yang dominan dan menjadi pusat. Dengan demikian, apakah arsitektur kehidupan sehari-hari identik dengan sebuah kota marginal atau pinggiran?

Dengan kondisi kota global sebagai kota post-modern, kekuatan pada masyarakat modern hanya terlihat pada kota sentral saja, sedangkan kekuatannya kurang terlihat pada aspek marginal seperti aspek domestik. Jadi, pembangunan pada kota sentral lebih bersifat perkembangan bisnis atau entrepreneurial development. Dengan demikian, kota sentral menjadi zona positif dan kota-kota marginal menjadi zona negatif. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang penghuni atau dwellers, rumah mereka (zona domestik) merupakan zona positif dan area di luar jendela rumah mereka merupakan zona negatif (Miles, 2000). Contohnya adalah para penghuni perumahan yang lebih memilih untuk tinggal di daerah sub-urban dimana mereka dapat merasa lebih nyaman karena melihat kondisi kota besar yang selalu padat dan menjadi pusat segala kegiatan perekonomian.

Masalahnya ternyata lebih kompleks dari sekedar oposisi antara sebuah kota yang terbantuk dari perencanaan top-down dengan kehidupan yang lebih mikro, seperti pada street-life. Pertama, arsitektur kehidupan sehari-hari merupakan okupansi ruang, merupakan bagian dari kota dominan, menara-menara perkantoran, yang mengganggu dan menganeka ragamkan pengalaman kota dominan tersebut. Pada kota global, grand architecture dapat menjadi lebih humble atau ramah dengan adanya penggunaan bangunan yang tidak dapat diprediksi atau fungsi bangunan dirasakan secara simultan dan dengan cara yang berlawanan oleh publik yang berbeda-beda. Sama halnya dengan kehidupan sehari-hari yang dapat terlihat lebih signifikan dengan adanya kejadian-kejadian khusus, contohnya seperti munculnya bunga-bunga di sebuah mal di London setelah meninggalnya Puteri Diana.

Yang kedua, apabila arsitektur kehidupan sehari-hari merupakan arsitektur vernakular yang terbentuk dari variasi lokal, maka akan sulit untuk mendefinisikan karakteristik umumnya. Arsitektur kehidupan sehari-hari berkembang di luar legalitas dan semi-legalitas. Dapat pula dilihat sebagai proses improvisasi, menggunakan apa pun yang dianggap mudah. Contohnya adalah bentuk-bentuk karakteristik seperti timbulnya pondok atau kios, tempat berteduh dan toko-toko kecil, bentuk-bentuk tersebut timbul dengan bermacam-macam, baik di kota yang makmur maupun tidak. Arsitektur kehidupan sehari-hari lebih bersifat non-insidental dan produksi ruang lebih ditekankan pada ide-ide yang timbul dari masyarakat penghuninya. Akan tetapi pada kenyataanya, masyarakat tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk berperan sebagaimana mestinya, yaitu untuk membangun kota mereka sendiri.

Bukan pula berarti bahwa keberadaan profesi desainer, perencana, dan arsitek tidak diperlukan. Akan tetapi profesi arsitek sering kali merupakan praktik yang bersifat teknis belaka dan tidak mengindahkan aspek-aspek lain untuk ikut berperan. Dalam periode konsumerisme, terjadi perbedaan antara “kebutuhan” dan “kemauan” akibat dari faktor komersial, media massa, dan gaya hidup impian yang kerap kali dipromosikan (Miles, 2000).

Menurut Corbusier (dalam Darling, 2000), hanyalah sebuah perkawinan antara modernitas dengan nilai-nilai tradisional yang dapat membuat revolusi desain menjadi permanen dan melahirkan arsitektur modern. Atau dengan kata lain, “Architecture is stifled by custom. The styles are a lie,” yang dapat diartikan bahwa arsitektur lebih cenderung kepada budaya atau kehidupan sehari-hari ketimbang gaya atau style yang hanya bersifat sebagai topeng dan tidak merepresentasikan budaya masyarakat itu sendiri.

Jadi kesimpulannya apakah sebenarnya terjadi bentrokan antara modernitas dan tradisi? Menurut saya, jawabannya adalah memang terjadi bentrokan antara tradisi dan modernitas karena ternyata dengan adanya modernitas dan modernisme maka tradisi akan semakin menghilang. Akan tetapi saat ini masyarakat masih membutuhkan kedua hal yang saling bertentangan tersebut karena mereka masih belum sepenuhnya dapat meninggalkan tradisi. Modernisme dan modernitas dapat berjalan beriringan dengan tradisi tetapi tetap saja modernisme dan modernitas tersebut merusak dan mengganggu tradisi yang sudah ada.
Daftar Pustaka

Adorno, T. W. (2004). Introduction. Dalam Bernstein, J. M. (Ed.), The Culture Industry. New York: Routledge.

Darling, E. (Ed.) (2000). Le Corbusier. London: Carlton Books.

Deamer, P. (1997). The Everyday and the Utopian. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday (hal. 198). New York: Princeton Architectural Press.

Halley, P. (1997). The Everyday Today: Experience and Ideology. Dalam Harris, Steven dan Berke, Deborah (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.

McLeod, M. (1997). Henri Lefebvre’s Critique of Everyday Life: An Introduction. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.

Lofland, L. H. (1985). A World of Strangers, Order and Action in Urban Public Space. Illinois: Waveland Press.

Miles, M. (2000). The Uses of Decoration, Essays in the Architectural Everyday. West Sussex: John Wiley & Sons.

Shils, E. (1981). Tradition. Chicago : The University of Chicago Press.

Stern, R. A. M. (2003). Urbanism is About Human Life. Dalam Tschumi, B. dan Cheng, I. (Ed.), The State of Architecture at the Beginning of the 21st Century,.New York: The Monecelli Press.

Queysanne, B. (1989). Tradition and Modernity in the Face of Time. Traditional Dwelling and Settlements Review, vol. I (1).

sumber: http://arsitektur.net